Warsiti Chadijah

Senin, 14 April 2014

KEINGINAN

Sejak kita lahir, mungkin keinginan pun ikut terlahir. Setiap diri manusia dilekati oleh keinginan ini. Dari keinginan yang sederhana menjadi semakin kompleks seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia itu sendiri, demikian pada umumnya.

Seorang bayi ketika terlahir dia akan menangis. Setelah itu terdorong rasa lapar, ia kemudian mencari air susu dari sang ibu. Entah sudah bisa disebut ada ‘keinginan’ atau belum dalam hal ini. Yang pertama memunculkan keinginan adalah dorongan kebutuhan akan makan. Setelah kebutuhan yang pertama terpenuhi maka ada kecenderungan untuk timbulnya keinginan yang lain sebagai akibat kebutuhan yang lain pula. Demikian seterusnya… Hingga suatu saat akan tiba datangnya ‘keinginan - keinginan’ yang tidak lagi didorong oleh kebutuhan hidup yang pokok lagi. 

Barangkali bisa dikatakan, semakin tua seseorang akan semakin banyak keinginannya. Meskipun hal ini tidak berlaku seratus persen di dunia ini. Ya, bagi mereka yang memahami sejatinya hidup, mereka yang menjalankan ‘mati sakjroning urip’. 
Cobalah perhatikan diri kita. Misalnya saja saat ini memiliki sepeda, kemudian…boleh donk kepingin sepeda motor. Karena dengan sepeda motor mobilitas semakin tinggi, memudahkan pekerjaan dan berbagai keuntungan yang lain. Gimana rasanya setelah keinginan punya sepeda motor terpenuhi? Tentu saja senang. Berapa lama ‘rasa’ senang itu berlangsung? Satu hari, satu minggu atau satu bulan? Yang jelas, rasa senang itu tidak akan bertahan lama. Begitu pula ketika kita kehilangan sesuatu yang membuat rasa sedih dalam hati kita. Berapa lama rasa sedih itu bersemayam dalam hati? Yang pasti, rasa sedih itu juga tidak akan selamanya. Senang dan susah adalah rasa yang ada dalam diri manusia, silih berganti adanya. Lambat laun ketika sudah punya sebuah sepeda motor,pingin punya lagi 2 atau tiga. Begitu pula dengan keinginan terhadap kepemilikan barang-barang yang lain, mobil, rumah bahkan pasangan. Sepertinya tidak akan ada habisnya keinginan itu. Yang timbul adalah kesibukan yang luar biasa dalam rangka pengejaran - pengejaran materi dan pemenuhan keinginan. Kapan waktu untuk bisa menikmati dan merayakan hidup? mereka lupa... 

Terpenuhinya keinginan – keinginan tidak mengekalkan rasa senang dalam diri. Justru keinginan-keinginan yang tidak terkendali akan menyengsarakan, membuat penderitaan dan menimbulkan keterikatan. Berharap kebahagiaan tercapai dengan menyandarkan pada terpenuhinya keinginan demi keinginan, akan menuai kecewa, kebahagiaan semakin menjauh. Dunia ini tidak kekal, bagaimana kita akan menyadarkan kebahagiaan pada sesuatu yang tidak kekal itu? Marilah saling berbagi, bebaskan hati dari rasa iri, benci dan mudahkan dalam memaafkan, Semoga kebahagiaan menyelimuti hidup kita.

Sabtu, 01 Maret 2014

Belajar "Melihat" kepada Kesejatian

Pagi tadi cerah bersemangat, matahari bersinar terang. Menjelang tengah hari tiba-tiba cuaca mendung tebal, hujan turun cukup deras hingga sore. Kehidupan serupa dengan keadaan cuaca, yang berubah-ubah dan dinamis, kadang mendung kadang hujan kadang cerah. Mampukah kita laksana langit yang anggun dengan birunya?
Langit tak akan menjadi hitam karena mendung, tidak akan pula menjadi putih karena awan. Bagaimanapun keadaan cuaca, langit tetap biru dan tak akan terpengaruh sampai kapanpun juga. Begitupun samudera dengan gelombangnya yang kadang naik kadang turun. Kita tidak bisa melekat pada salah satunya dan membenci yang lain. Yang harus kita lakukan adalah merangkul keduanya, menerima apa adanya kehidupan ini. Dengan begitu kita siap menerima kematian dan tidak menakutinya, sebagaimana kita juga menerima hidup.
Kematian bukanlah akhir kehidupan. Kelahiran dan kematian adalah fenomena kehidupan itu sendiri. Mulai hari ini belajarlah mengalihkan kesadaranmu dari kesadaran fisik/badan kepada kesadaran jiwa/ruh yang bersemayam dalam badan fisik itu sendiri. Badan adalah kendaraan sekaligus rumah bagi sang jiwa/ruh. Badan ini ada masa kadaluarsanya, ketika sudah berubah menjadi jasad/mayat setelah ditinggalkan oleh sang jiwa/ruh. Setelah jasad diperabukan akan terurai menjadi unsur pembentuknya dan kembali ke alam. Daging dan tulang kembali menjadi tanah, darah menjadi air, nafas dan energi menjadi angin, enzim-enzim pencernaan menjadi panas/api.
Sang jiwa/ruh tidak akan pernah mati dan akan melanjutkan perjalanan ke alam selanjutnya. Inilah sejatinya kita, sang jiwa/ruh yang kekal abadi. 

Jiwa kita asah dengan cintakasih, kepedulian, pelayanan tanpa pamrih dan senantiasa berbagi kebahagiaan dengan sesama. Dengan mengabdi dan melayani makhluknya itulah ibadah kita. Dengan begitu, mudah-mudahan hidup ini menjadi berkah bagi alam semesta.
Tidak terjebak pada hidup yang stagnan hanya mementingkan diri sendiri, keluarga dan golongannya saja. Terjebak pada pengejaran materi, gaya hidup hedonis dan kepuasan yang semu dan semakin menjauhkan dari kebahagiaan. Kita tidak perlu lari dari dunia dan menarik diri dari keramaiannya. Dengan mengasingkan diri ke hutan belantara sekalipun, masih tetap dunia. Dunia yang menghidupi kita. Dunia adalah tempat persinggahan, bukan tujuan akhir dari perjalanan. Hiruk pikuk dan gemerlapnya dunia tidak akan melenakan kesadaran kita. Sebagaimana teratai yang mekar bersih tak ternoda oleh lumpur yang telah menghidupinya.
Seandainya selama ini banyak diantara kita sibuk mempercantik penampilan fisik maka lebih percantiklah jiwa kita. 

Dibutuhkan : Etos Kerja Guru 'Kreatif dan Inovatif''

Jumlah pengangguran yang kian hari terus bertambah merupakan masalah yang harus ditangani secara serius. Bisa jadi hal ini merupakan salah satu fakta dari kegagalan sistem pendidikan di Negara kita. Meskipun tidak hanya terjadi di negara kita, masalah pengangguran sudah mewabah di beberapa belahan dunia. Apalagi diperparah dengan adanya krisis global. Berikut ini ada satu kisah yang dapat membuka hati kita akan sebuah realitas produk pendidikan. Pidato Kelulusan Pelajar SMA yang menggetarkan dan menggugat kesadaran kita atas makna sistem pendidikan, pidato ini diucapkan oleh Erica Goldson, pelajar di Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010.“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.                Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang akan datang kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.             Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik?Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupansaya? Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”            Pidato yang disampaikan oleh siswi tadi, persis pernah saya alami beberapa tahun yang lalu. Saat ini ketika saya sedang menempuh Program Kompetensi Mengajar, jujur ada kekhawatiran akankah saya nanti mampu ‘menyelamatkan’ siswa didik saya dari hal yang demikian atau tidak. Cukup menggelisahkan pertanyaan ini bagi saya. Saya bertekad untuk terus belajar dan bekerja dengan sungguh-sungguh dalam peran apapun yang saya jalani dalam kehidupan ini. Semoga Yang Kuasa berkenan berkarya dengan badan/diri ini.            Bagaimana dengan lulusan dari sekolah-sekolah di negara kita tercinta ini? Kebanyakan dari mereka masih berbondong-bondong mencari kerja. Yang siap menjadi budak di dalam sistem yang mengurungnya. Ini adalah sebuah realita. Hanya sedikit saja dari mereka yang dapat menciptakan lapangan kerja, paling tidak untuk dirinya sendiri terlebih dulu. Atau ada juga yang kreatif tapi dalam arti yang negatif, misalnya saja memilih cara-cara yang tidak dibenarkan dalam mencari penghidupan, seperti tindakan penipuan, mengheaker bank melalui system dan tindakan lain yang bersifat kriminal.             Itulah sedikit potret bangsa kita saat ini. Nasib bangsa ini tidak akan berubah kecuali kita sendiri secara sadar mengupayakan perubahan itu kearah yang lebih baik. Salah satunya dengan membangun kemandirian bangsa, dimulai dari diri kita masing-masing, dari hal-hal kecil dan sedini mungkin. Perubahan ini dapat kita usahakan melalui system pendidikan nasional kita.Tujuan pendidikan nasional dalam rangka mecerdaskan kehidupan bangsa harus kita wujudkan. Tentunya kecerdasan dalam arti luas yang mencakup terbentuknya kecakapan hidup agar individu mampu memecahkan masalah dalam kehidupannya. Dan saya sangat setuju dengan pendapat Anand Krishna yang menyatakan bahwa “Seluruh sistem pendidikan kita, semua mata pelajaran yang diajarkan harus berorientasi pada budi perkerti. Jika anda telah melakukan hal itu yakinlah bahwa anda telah berhasil menunjukan jalan yang mulia kepada anak-anak anda”
Karena obyek pendidikan adalah manusia, yang diharapkan akan menjadi manusia yang seutuhnya. Tidak hanya cerdas secara otak/pikiran/akal tetapi juga berbudi pekerti yang luhur. Pendidikan yang dapat memanusiakan manusia.Lebih jauh Anand Krishna mengemukakan “Biarkanlah anak-anak anda tumbuh bersama. Terlepas dari latar belakang keluarga, kepercayaan, warna kulit dan suku bangsa mereka, biarkanlah mereka ke sekolah bersama. Jangan pisahkan mereka dalam ruangan yang terkotak-kotak. Singkirkan sistem pendidikan yang membuat anak-anak anda menjadi fanatik. Sistem pendidikan seperti itu akan membahayakan persatuan bangsa. Biarkan sistem pendidikan berorientasi pada budi pekerti, nilai-nilai manusia yang luhur, bukan pada kepercayaan anda yang beraneka ragam, yang selama ini telah mengkotak-kotakan anda dan membuat anda terpecah belah.Peran tenaga pendidik (guru) memang tidak mudah. Seorang guru dituntut selalu mengembangkan diri agar dapat menuangkan proses kreatif kepada anak didiknya. Idealnya seorang guru juga bisa menjadi teladan bagi peserta didiknya, mampu bersikap adil dan merangkul semuanya dengan cinta tanpa pilih kasih.Akan seperti apa potret generasi kita dimasa yang akan datang, sangat ditentukan oleh bagaimana guru dalam mendidik siswa dan siswinya di sekolah. Termasuk peran orang tua dalam mendidik putra putrinya dalam lingkungan keluarga. Sesuai jiwa dan nilai luhur yang dituangkan dalam Pancasila oleh founding father, pendidikan nasional kita harus berfungsi memanusiakan manusia. Agar tercapai generasi yang berbudi pekerti luhur, cerdas dan kreatif sehingga dapat menjawab tantangan kehidupannya yang akan membawa bangsa ini kepada kejayaannya. Kejayaan sesungguhnya ketika manusia mampu menjadi berkah bagi kebaikan hidup sesamanya dan alam.

Selasa, 08 Januari 2013

Pertahankan Kepercayaan Diri!



Saat ini rakyat Indonesia mengalami krisis kepercayaan terhadap para pemimpinnya. Bukan kali pertama kita menghadapi krisis, sebelumnya kita pernah mengalami krisis pangan dan ekonomi/moneter. Bahkan saat ini negara adi kuasa dan beberapa negara maju mengalami krisis ekonomi yang cukup serius. Hal ini memicu pertambahan jumlah pengangguran dibeberapa belahan bumi, seperti Amerika, Asia Utara dan Asia Tenggara.
Krisis kepercayaan bahkan menjangkiti ditingkat satuan masyarakat terkecil, yaitu keluarga. Suami mulai berkurang rasa kepercayaannya terhadap istri ataupun sebaliknya. Apakah hal ini akibat dari kecenderungan kasus perselingkuhan yang kian merebak? Saya rasa seperti itu adanya. Peran tehnologi informasi dan telekomunikasi yang kian canggih cukup besar dalam hal ini. 
Bagaimana tidak? Hari ini berbagai informasi dapat diakses dengan mudah dan cepat melalui internet. Kita dapat mengakses internet melalui handphone dan atau smartphone, yang sudah dapat dimiliki oleh sekian banyak orang.
Hanya satu yang harus kita pertahankan dari semua krisis, adalah kepercayaan diri. Orang yang sakit sekalipun, boleh jadi ia tidak membutuhkan obat-obatan medis, kadang ia hanya membutuhkan untuk dibangkitkan kepercayaan diri dan keseimbangan mental emosionalnya. Dengan begitu, akan tumbuh antusiasme dan mekanisme kekebalan tubuh dengan sendirinya akan membentuk antibodi.
Kepercayaan diri hanya kita dapatkan ketika kita mampu menyandarkan dan memasrahkan segalanya pada Tuhan Sang Pemilik Tunggal. Sia-sia saja bila kita menyandarkan diri kepada selain Dia, karena yang nampak di dunia ini sejatinya hanyalah fana dan ketidak kekalan belaka. Tidak ada yang kekal di dunia ini, demikian petuah yang sudah familiar ditengah kita, dan itu benar adanya. Adakah kekayaan, ketenaran, kekuasaan, kecantikan/ketampanan atau apapun kenikmatan dunia ini yang langgeng?
Memasrahkan diri bukan berarti menyerah dan berputus asa. Pasrah berarti siap mengalami/menjalani apapun kehendak Tuhan, karena yang terjadi di kehidupan ini adalah kehendaknya semata.